DEMOKRASI SEBAGAI BENTUK NEGARA
RUMITNYA DEMOKRASI
Demokrasi adalah bentuk negara yang sulit. Yang pernah berpartisipasi dalam pemilihan anggota Parlemen Federal atau Parlemen Negara Bagian tahu betapa rumitnya demokrasi. Konon, suara kedua lebih penting dari suara pertama. Lalu,kita tahu bahwa di samping mandat, yang ada pula apa yang disebut dengan Überhang dan Ausgleichsmandat (mandat tambahan dan mandat penyeimbang). Selain itu, bagi partai penting sekali untuk melewati klausul 5% demi “kelangsungan hidup” mereka.
Ahli politik Theodor Eschenburg dalam wawancaranya dengan surat kabar ZEIT
menjabarkan mengapa demokrasi itu begitu rumit:
“Jika saya menghendaki kebebasan maka saya harus tahu cara mengorganisirnya. Jika saya tidak lagi menghendaki sistem kerajaan dan kebangsawanan di mana hanya tiga atau empat atau lima orang yang bermufakat, tetapi menghendaki sistem demokrasi, maka itu artinya, mau tidak mau saya harus membangun sistem atau konstruksi yang rumit. Begitu ada lebih dari 100 orang yang berpartisipasi dalam sebuah musyawarah, saya harus mengorganisasikannya.” Dan kesimpulan pentingnya:
“Demokrasi harus benar-benar jelas. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang begitu rumit sehingga orang hanya akan memahaminya jika ia telah dipelajari dengan baik sebelumnya” Jadi, kita harus “menjelaskan” dulu apa itu demokrasi. Karena hanya yang tahu demokrasi dan cara fungsinya sajalah yang akan mengenali nilai demokrasi, mendukungnya serta mengorganisasikannya, dan bahkan mungkin memperjuangkannya
DEMOKRASI ADALAH SEBUAH BUKU DENGAN BANYAK HALAMAN
Apa artinya demokrasi? Ternyata demokrasi tidak hanya rumit tetapi juga memiliki sangat banyak sudut pandang seperti yang ditunjukkan kutipan-kutipan
berikut ini :
1. “Demokrasi adalah kekuasaan rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.” Abraham Lincoln.
2. “Demokrasi berarti ikut campur dalam urusan sendiri” Max Frisch
3. “Demokrasi tidak lain adalah membiarkan orang berbicara dan memiliki kemampuan untuk mendengar.’ Heinrich Brüning
4. “Demokrasi berangkat dari pandangan bahwa melalui adu gagasan pada akhirnya
orang akan mendapatkan sesuatu yang sangat dekat dengan kenyataan.” Hanry Kissinger
5. “Tentu saja keliru menganggap bahwa dengan demokrasi semua kehendak rakyat dapat dipenuhi. Namun, manakala kita melihat upaya untuk membuat keputusan menyangkut kepentingan yang berbeda tidak lagi dengan pisau dan pistol(baca:kekerasan) melainkan melalui pemungutan suara, maka itu adalah proses yang lebih manusiawi dan beradab.” Robert Musil.
6. “Demokrasi bukan berarti memilih yang terbaik untuk berkuasa dan menjalankan politik yang terbaik, tetapi demokrasi adalah kesempatan untuk meninggalkan pertumpahan darah dalam perebutan kekuasaan” Karl Popper
7. “Demokrasi bertujuan pada partisipasi rakyat dalam membentuk kehendak pemerintah dan pada keleluasaan individu dalam menentukan nasib sendiri yang
seluas mungkin.” Helmut Simon
8. “Dalam demokrasi setiap orang boleh berkata apa yang ia pikirkan – meskipun ia
tidak dapat berpikir.” Peter Bamm
9. “Demokrasi tidak boleh terlalu berlebihan – sehingga dalam keluarga pun harus ada voting siapa yang menjadi bapak.” Willy Brandt
Jadi, demokrasi itu memiliki banyak sudut pandang dan rumit, tapi apa intinya?
DEMOKRASI BERARTI DEMOKRASI PERWAKILAN
Terjemahan kata “demokrasi” yang berasal dari bahasa Yunani itu berarti“kekuasaan rakyat”. Seperti yang termaktub dalam konstitusi negara bagian kita, kekuasaan negara bukan terletak di tangan individu (seperti dalam sistem monarki) atau kelompok (seperti dalam sistem aristokrat), melainkan seluruhnya di tangan rakyat. Dan “seluruh kekuasaan negara berasal dari rakyat”. Demikian disebutkan dalam UUD. “Namun – demikian pertanyaan Bertolt Brecht – “ke mana arah demokrasi itu?”
Ada pandangan yang berangkat dari idealisme penentuan nasib sendiri secara tak terbatas, dan sejalan dengan itu terbentuknya pemerintahan sendiri oleh rakyat. Pandangan ini menyebabkan munculnya istilah demokrasi langsung di mana rakyat menentukan nasib sendiri dan karena itu tidak membutuhkan perwakilan. Namun demokrasi dalam bentuk “murni” langsung ini tidak ada. Karena setiap organisasi – juga sebuah negara – hanya dapat berfungsi jika memiliki pimpinan. Karena itu, rakyat hanya bisa berkuasa jika ada pimpinan. Apabila pimpinan itu tidak ada dan karenanya semua merasa berwenang untuk semua hal, mungkin pada akhirnya tidak ada lagi orang yang bertanggung jawab. Ini khususnya berlaku di negaranegara modern yang memiliki wilayah luas di mana rakyat tidak lagi dapat dikumpulkan di lapangan untuk memberikan suaranya seperti ketika di Athena klasik dulu. Karena itu, sistem demokrasi yang ada sekarang bukanlah demokrasi langsung, melainkan demokrasi tidak langsung, yang artinya demokrasi perwakilan. Seperti yang berlaku di Republik Federal Jerman dan juga di Rheinland-Pfalz.
. Dalam demokrasi perwakilan, kekuasaan negara dijalankan oleh para wakil rakyat yang dipilih rakyat untuk masa jabatan tertentu. Para wakil ini bertanggung jawab terhadap rakyat dan wajib memberikan pertanggungjawaban dan pada akhir masa jabatan dapat dipilih kembali
PEMILU DALAM SISTEM DEMOKRASI PERWAKILAN
Titik tolak demokrasi perwakilan adalah pemilihan wakil rakyat oleh rakyat. Oleh karena itu, hak dasar politik yang paling penting untuk rakyat adalah hak pilih. Hak ini mencakup hak memilih dan dipilih. Yang pertama merupakan hak pilih aktif, sedangkan yang lainnya hak pilih pasif.
Di negara-negara yang tidak menerapkan sistem demokrasi juga diadakan pemilihan. Biasanya orang atau partai yang akan dipilih memperoleh hampir 100% suara. Perbedaan antara pemilihan seperti ini dengan pemilihan dalam sistem demokrasi terletak pada tidak adanya pilihan lain atau alternatif. Dibandingkan dengan negara-negara seperti ini, negara dengan sistem demokrasi memberikan pilihan bagi pemilih alias rakyat dalam arti yang sebenarnya. Yaitu pilihan di antara berbagai partai dan kandidat. Oleh karenanya, dalam negara demokrasi pemilihan
bersifat bebas.
DEMOKRASI PERWAKILAN BERARTI DEMOKRASI KOMUNIKATIF
Ekspresi “kekuasaan rakyat” secara langsung itu tidak hanya berupa pembuatan UU oleh rakyat (plebisit) dan partisipasi warga dalam penentuan keputusan-keputusan politik yang lain. Tapi juga bisa berbentuk LSM-LSM, protes rakyat dan demonstrasi. Ekspresi-ekspresi ini tidak lain daripada bagian dari cikal bakal demokrasi langsung. Faktor yang tak kalah pentingnya adalah kebebasan berpendapat dan informasi. Kebebasan berpendapat dan informasi memungkinkan setiap individu untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan kehendak dan opini publik, dan dengan demikian dapat ‘berdiskusi’ dengan politisi. Intinya ada komunikasi antara politisi dan warga. Dalam konteks ini, demokrasi adalah juga demokrasi komunikatif. Pada satu pihak demokrasi komunikatif menuntut adanya “kelompok partisipasi” yang ikut ambil bagian dalam penentuan kebijakan dan bertanggung jawab; di lain pihak ia membutuhkan anggota parlemen yang memberikan informasi kepada rakyat, yang mengikuti perkembangan dan yang melibatkan rakyat dalam peristiwa politik.
Idealnya komunikasi antara warga dan politisi dapat berupa proses yang terusmenerus. Namun dialog antara kedua pihak seringkali tidak berfungsi. Banyak warga yang tidak punya waktu untuk mengurus masalah yang menyangkut orang banyak. Sementara yang lainnya tidak berminat dan sisanya memilih diam karena mereka tidak didengar dalam urusan partai politik.
TANTANGAN DEMOKRASI PERWAKILAN
Keraguan adalah bagian dari demokrasi, termasuk keraguan terhadap diri sendiri. “Andaikata ada rakyat para dewa, maka mereka akan memerintah secara demokratis. Tapi bentuk negara seperti ini tidak cocok untuk manusia”. Demikian kata Rousseau lebih dari 250 tahun yang lalu, dan Kant kemudian menjelaskan alasannya: “Karena manusia, dengan kecenderungan ego mereka, tidak akan mampu menciptakan bentuk (pemerintahan) yang begitu halus”.
Dengan latar belakang gambaran ini, tidaklah mengherankan apabila setelah tahun1989 yang merupakan tahun kemenangan demokrasi di hampir seluruh dunia itu keraguan akan demokrasi tidak berkurang melainkan meningkat. Muncul pertanyaan yang semakin mendesak, yakni apakah demokrasi mampu mengatasi masalah zaman sekarang seperti pengangguran massal, kejahatan terorganisasi dan terorisme, serta apakah ia mampu menghadapi bahaya yang misalnya timbul dari globalisasi dan perusahaan-perusahaan dunia. Fenomena ini disebut “krisis demokrasi”. Bagi beberapa orang, itu bahkan berarti “akhir demokrasi” ada di depan mata.
Prediksi ini tidak muncul begitu saja. Ia perlu diperhatikan dan dicari solusinya. Ada cukup pendekatan untuk itu. Ada yang mengusulkan diterapkannya “budaya partisipasi masyarakat”, ada yang menginginkan proses plebisit, dan yang lain berupaya untuk mengembangkan demokrasi perwakilan agar mampu beradaptasi dengan masalah yang semakin bertambah. Intinya, mereka ini mengembangkan konsep-konsep baru demokrasi. Salah satunya adalah konsep yang disebut dengan demokrasi multi parlemen (mehrspurige Demokratie). Artinya, satu parlemen yang berwenang untuk semua masalah digantikan dengan beberapa parlemen yang memiliki tugas masing-masing. Komposisi dan masa jabatan anggotanya diatur sesuai dengan tugas mereka masing-masing. Dengan demikian demokrasi universal digantikan dengan demokrasi terkotak-kotak (Spartendemokrasi). Usul-usul seperti ini, meski sekilas kedengarannya sangat utopis, merupakan ungkapan dari kehendak pengejawantahan demokrasi. Karena tidak ada alternatif terhadap demokrasi ini. Seperti yang dinyatakan Winston Churchill:
“Demokrasi adalah sistem pemerintahan terburuk di dunia – tapi tidak ada yang lebih
baik darinya.”
DEMOKRASI SEBAGAI BENTUK KEHIDUPAN
Sebagai bentuk negara, demokrasi – seperti telah dibahas sebelumnya – harus menjamin kebebasan rakyat dan keadilan sosial. Tugas ini tidak hanya milik lembaga-lembaga pemerintah, namun rakyat juga harus ikut andil di dalamnya. Karena itulah dalam uraian di atas muncul istilah “warga aktif” (Mitmachgesellschaft).
Tetapi, jika warga hanya mengenal dan menggunakan hak-hak warga negara saja, itu tidak cukup. Mereka harus mempunyai kesempatan untuk melatih dan menerapkan hak-hak demokratis dan kebajikan-kebajikan demokratis, misalnya di sekolah, di universitas, di perusahaan dan di dalam keluarga. Karena itu, demokrasi bukan saja suatu bentuk negara, melainkan juga suatu bentuk kehidupan. Fokus dari sebuah masyarakat demokratis adalah tanggungjawab terhadap diri sendiri dan ikut serta bertanggungjawab – dimana ikut bertanggungjawab dapat dilakukan dalam banyak bentuk, khususnya melalui aktivitas dalam perkumpulan atau organisasi, aktivitas membantu remaja atau melalui kegiatan membantu warga lansia. Jadi, negara demokrasi membutuhkan masyarakat demokratis. Keduanya saling membutuhkan satu sama lain.
Tanpa ada sistem demokrasi, tidak ada masyarakat demokratis, begitu pula sebaliknya. Karena itu, menjadikan demokrasi sebagai bentuk negara dan kehidupan adalah tugas yang terus menerus dan berkelanjutan. Dan, apa yang dikatakan oleh Benjamin Franklin – setelah kesepakatan konstitusi di Philadelphia – cocok untuk menggambarkan perlunya pemeliharaan demokrasi secara terus menerus: “Kita akan memiliki demokrasi sebagai bentuk negara dan kehidupan jika kita mengenggamnya.
.”